Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh
hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk
memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja
pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia
seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah.
Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya,
karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan
menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan
sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya,
sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk
dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya
yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena
telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil
penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa
mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin.
Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah
mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus
berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat
barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan
mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan
tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia
menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan
wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur
pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang
berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak
ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil
yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya,
menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan
berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak
membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan
tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil” sahut anak itu.
“Orang tuamu dimana?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil” sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki
bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik
Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak
perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang
compang camping.
Kemudian Bai Fang Li membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung
anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li
mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk
membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang
layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh
becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk
mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya
dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil
daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke
Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan
dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung
mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat
pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang
berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20
tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah
donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia
mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu Rupiah)
yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah
Yao Hua.
Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak
dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan”
katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan.
Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB
350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah jika tidak salah) yang dia berikan
kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang
lebih 300 anak-anak miskin.
Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya
yang bertuliskan “Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa.”


Tidak ada komentar:
Posting Komentar